karakter perempuan sunda dalam jaipongan
KARAKTER PEREMPUAN SUNDA DALAM JAIPONGAN
Karakter perempuan Sunda yang telah digambarkan di atas, dalam masyarakat Sunda lama yang dilukiskan dari cerita Pantun seperti tokoh Sunan Ambu, Dewi Asri, Nyi Sumur Bandung, maupun Purbasari, adalahberwibawa, kharismatik, penuh cinta kasih, pendidik, penolong, pelindung, penyabar, tegar dan memiliki hati yang lembut. Demikian halnya yang digambarkan dalam sejarah terutama ketika Raden Dewi Sartika yang hidup di kalangan menak yang merasa tertekan dengan keadaan. Ia berani berjuang untuk kaumnya agar mendapat perlakuan yang sama dengan pria. Dari gambaran cerita Raden Dewi sartika tersebut dapat dibaca bahwa karakter perempuan saat itu adalah, sabar, tegar, dan penuh perjuangan, tetapi sikap sopan santun tetap dijaga. Kehidupan masyarakat dari zaman ke zaman terus berubah sesuai dengan perubahan sosial masyarakatnya. Demikian halnya dengan karakter perempuan masyarakat Sunda, muncul perubahan-perubahan yang signifikan dalam perilaku menyikapi kehidupan.
Perubahan karakter perempuan Sunda tersebut tergambar dalam sebuah karya tari yang dikreasikan oleh Gugum Gumbira yaitu Jaipongan. Jaipongan yang lahir akhir tahun 1970-an dan populer tahun 1980-an ini memunculkan karakter perempuan yang semakin membuka diri. Pada masa tersebut termasuk sebagai masa orde baru yang dapat dikatakan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat semakin meningkat. Salah satu faktornya adalah kondisi sosial, politik, dan ekonomi saat itu dalam keadaan “stabil”. Situasi dan kondisi tersebut sangat berpengaruh terhadap karya-karya tari.
Kehidupan tari yang sebelumnya, atau yang hidup sebelum lahirnya Jaipongan, masih memperlihatkan sikap-sikap feodal yang banyak aturan dan larangan. Misalnya perempuan di kalangan menak tabu untuk menari karena citra penari yang dulu populer dengan istilah ronggeng sangat jelek di mata masyarakat kaum bangsawan. Oleh sebab itu perempuan tidak diizinkan untuk menari. Sementara yang boleh menari adalah para kaum menak laki-laki saja. Kendatipun dalam sajian Tayuban yang sangat populer di kalangan menak ada perempuannya itu adalah perempuan yang berasal dari kaum somah, yaitu penari-penari ronggeng dari kalangan rakyat.
Tahun 1930-an mulcul karya R. Tjetje Somantri yang mampu merubah image penari perempuan dari pandangan tabu menjadi tidak tabu lagi, karena ia menciptakan tari-tarian perempuan di kalangan menak. Karakter tarian yang diungkapkan sebatas keceriaan dengan penuh keanggunan. Gerak-geraknya yang halus, lembut, dengan aturan-aturan pola gerak yang sesuai dengan etika perempuan menak yang dianggap masyarakat kebanyakan memiliki tingkat kesopanan yang wajar sebagai perempuan kalangan menak.
Ketika muncul karya-karya Jaipongan, baik yang dikresikan oleh Gugum Gumbira sebagai pelopornya, maupun oleh kreator-kreator generasi penerusnya. Ternyata karakter tarian yang diungkapkan sangat berbeda dengan tari-tarian sebelumnya. Tari perempuan yang diungkapkan memiliki ungkapan gerak yang lebih bebas dan luas. Dilihat dari gerakan kepala, tangan, badan, maupun kaki tampak sangat leluasa. Salah satu faktor yang menyebabkan lahirnya gerakan-gerakan yang lebih leluasa, sebab sumber gerak yang diambilnya adalah berasal dari kalangan rakyat. Sumber utamanya dari Ketuk Tilu yang juga di dalamnya ada unsur Pencak Silat kemudian dilengkapi dengan sumber lain dari pertunjukan rakyat di daerah kaleran. Seperti Banjet dari Karawang maupun Bajidoran dari Subang dan Karawang.
Ciri utama dalam sajian seni rakyat memiliki kebebasan dalam berkespresi tidak terpaku oleh aturan-aturan baku yang membelenggu ruang gerak. Selain itu, gerakan tari perempuan dalam Jaipongan dikreasikan dari gerakan pencak silat yang tidak memandang jenis kelamin. Ungkapan gerak pencak silat baik untuk perempuan maupun laki-laki adalah sama, tidak ada perbedaan yang signifikan. Gerakan pencak yang dituangkan dalam tari Daun Pulus Keser Bojong, misalnya, menjadi gerakan yang cantik dan indah diungkapkan oleh perempuan karena gerakan pencak telah distilir kedalam gerakan tari. Gerak gibas, tangkis, giwar, meupeuh dan sebagainya menjadi ungkapan yang tidak kentara sumber geraknya, padahal gerak tersebut memiliki makna dan simbol yang jelas.
Beberapa contoh gerakan dalam Jaipongan akan dibaca bagaimana hubungannya dengan karakter perempuan Sunda yang kekinian. Gerakan cingeus yang diungkapan melalui gerak kepala maupun badan sebagai gambaran karakter perempuan yang gesit penuh antusias dalam menghadapi berbagai tantangan kehidupan ini. Kegesitan terungkap pula dalam gerakan kaki, seperti meloncat, depok, ngerecek, mincid, sirig, sonteng, dan sebagainya. Hal ini bisa juga dibaca bahwa perempuan Sunda hampang birit. Dari gerakan kaki dapat juga dibaca bahwa perempuan Sunda masa kini banyak yang “jalingkak”. Tidak seanggun perempuan masa lalu yang andalemi dibalik bungkusan kain kebaya. Gerak galeong badan dan kepala yang mengalir legato disertai dengan lirikan mata dan senyuman genit. Sebagai gambaran karakter perempuan yang kenes. Gerakan tangan dan kaki yang terbuka lebar, sebagai gambaran karakter yang terbuka dan memiliki kekuatan serta jujur. Gerak liukan tubuh yang lentur dari ujung kaki hingga kepala sebagai gambaran karakter yang fleksibel tidak kaku dalam menghadapi berbagai persoalan. Apabila dilihat dari tempo dan dinamika gerakan maupun musik yang variatif seperti ada tempo cepat, lambat, sedang, yang dikreasikan dalam Jaipongan dapat dibaca dan dimaknai bahwa karakter perempuan Sunda kekinian tidak monoton, penuh dinamika, dalam arti tidak membosankan.
KESIMPULAN
Jaipongan sebagai sebuah genre baru dalam pertunjukan tari di Jawa Barat merupakan bentuk ekspresi yang dikomunikasikan kepada para penikmatnya lewat gerak. Sebagai sebuah seni pertunjukan Jaipongan dapat disebut media komunikasi yang diungkapkan melalui medium gerak antara kreator (seniman) dan apresiator, yang kemudian dapat ditafsirkan oleh keduanya. Jaipongan diciptakan oleh kreator dengan tafsir dan maknanya sendiri. Kemudian Jaipongan ditonton atau diapresiasi oleh penikmat seni dengan tafsir dan makna tersendiri pula. Oleh sebab itu penulis sebagai penikmat memberi makna tersendiri dalam menafsirkan gerakan Jaipongan.
Jaipongan sebagai bentuk seni mengandung simbol-simbol tertentu yang dapat dibaca dan ditafsirkan oleh setiap orang. Simbol menjadi sesuatu yang penting bagi manusia. Penulis membaca Jaipongan mengandung simbol sebagai pemberontakan dan kebebasan dari kaum perempuan yang selalu terbelunggu dengan berbagai aturan yang sangat mengikat, sehingga membatasi ruang gerak dari kaum perempuan. Dari ungkapan gerak yang dituangkan dalam Jaipongan dapat memberi gambaran bahwa karakter perempuan Sunda kekinian di antaranya penuh semangat, ramah, berani, kuat, jujur, kenes/genit, pejuang, hampang birit atau gesit, lincah, dan tidak membosankan.
Di samping itu, perempuan Sunda kekinian banyak yang jalingkak seperti banyak terungkap dalam gerak Jaipongan. Banyak orang berpendapat bahwa perempuan Sunda adalah pemalas, namun bila membaca Jaipongan dan membaca keberadaan perempuan Sunda masa kini pendapat tersebut sudah tidak relevan lagi sebagai karakter perempuan Sunda kekinian. Sementara pendapat mengenai perempuan Sunda cantik dan senang berdandan, hal itu tidak dapat dipungkiri karena bila melihat tampilan penari Jaipongan tentu akan terpesona dengan dandanannya yang selalu ingin menonjolkan kecantikan.
Karakter perempuan Sunda yang telah digambarkan di atas, dalam masyarakat Sunda lama yang dilukiskan dari cerita Pantun seperti tokoh Sunan Ambu, Dewi Asri, Nyi Sumur Bandung, maupun Purbasari, adalahberwibawa, kharismatik, penuh cinta kasih, pendidik, penolong, pelindung, penyabar, tegar dan memiliki hati yang lembut. Demikian halnya yang digambarkan dalam sejarah terutama ketika Raden Dewi Sartika yang hidup di kalangan menak yang merasa tertekan dengan keadaan. Ia berani berjuang untuk kaumnya agar mendapat perlakuan yang sama dengan pria. Dari gambaran cerita Raden Dewi sartika tersebut dapat dibaca bahwa karakter perempuan saat itu adalah, sabar, tegar, dan penuh perjuangan, tetapi sikap sopan santun tetap dijaga. Kehidupan masyarakat dari zaman ke zaman terus berubah sesuai dengan perubahan sosial masyarakatnya. Demikian halnya dengan karakter perempuan masyarakat Sunda, muncul perubahan-perubahan yang signifikan dalam perilaku menyikapi kehidupan.
Perubahan karakter perempuan Sunda tersebut tergambar dalam sebuah karya tari yang dikreasikan oleh Gugum Gumbira yaitu Jaipongan. Jaipongan yang lahir akhir tahun 1970-an dan populer tahun 1980-an ini memunculkan karakter perempuan yang semakin membuka diri. Pada masa tersebut termasuk sebagai masa orde baru yang dapat dikatakan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat semakin meningkat. Salah satu faktornya adalah kondisi sosial, politik, dan ekonomi saat itu dalam keadaan “stabil”. Situasi dan kondisi tersebut sangat berpengaruh terhadap karya-karya tari.
Kehidupan tari yang sebelumnya, atau yang hidup sebelum lahirnya Jaipongan, masih memperlihatkan sikap-sikap feodal yang banyak aturan dan larangan. Misalnya perempuan di kalangan menak tabu untuk menari karena citra penari yang dulu populer dengan istilah ronggeng sangat jelek di mata masyarakat kaum bangsawan. Oleh sebab itu perempuan tidak diizinkan untuk menari. Sementara yang boleh menari adalah para kaum menak laki-laki saja. Kendatipun dalam sajian Tayuban yang sangat populer di kalangan menak ada perempuannya itu adalah perempuan yang berasal dari kaum somah, yaitu penari-penari ronggeng dari kalangan rakyat.
Tahun 1930-an mulcul karya R. Tjetje Somantri yang mampu merubah image penari perempuan dari pandangan tabu menjadi tidak tabu lagi, karena ia menciptakan tari-tarian perempuan di kalangan menak. Karakter tarian yang diungkapkan sebatas keceriaan dengan penuh keanggunan. Gerak-geraknya yang halus, lembut, dengan aturan-aturan pola gerak yang sesuai dengan etika perempuan menak yang dianggap masyarakat kebanyakan memiliki tingkat kesopanan yang wajar sebagai perempuan kalangan menak.
Ketika muncul karya-karya Jaipongan, baik yang dikresikan oleh Gugum Gumbira sebagai pelopornya, maupun oleh kreator-kreator generasi penerusnya. Ternyata karakter tarian yang diungkapkan sangat berbeda dengan tari-tarian sebelumnya. Tari perempuan yang diungkapkan memiliki ungkapan gerak yang lebih bebas dan luas. Dilihat dari gerakan kepala, tangan, badan, maupun kaki tampak sangat leluasa. Salah satu faktor yang menyebabkan lahirnya gerakan-gerakan yang lebih leluasa, sebab sumber gerak yang diambilnya adalah berasal dari kalangan rakyat. Sumber utamanya dari Ketuk Tilu yang juga di dalamnya ada unsur Pencak Silat kemudian dilengkapi dengan sumber lain dari pertunjukan rakyat di daerah kaleran. Seperti Banjet dari Karawang maupun Bajidoran dari Subang dan Karawang.
Ciri utama dalam sajian seni rakyat memiliki kebebasan dalam berkespresi tidak terpaku oleh aturan-aturan baku yang membelenggu ruang gerak. Selain itu, gerakan tari perempuan dalam Jaipongan dikreasikan dari gerakan pencak silat yang tidak memandang jenis kelamin. Ungkapan gerak pencak silat baik untuk perempuan maupun laki-laki adalah sama, tidak ada perbedaan yang signifikan. Gerakan pencak yang dituangkan dalam tari Daun Pulus Keser Bojong, misalnya, menjadi gerakan yang cantik dan indah diungkapkan oleh perempuan karena gerakan pencak telah distilir kedalam gerakan tari. Gerak gibas, tangkis, giwar, meupeuh dan sebagainya menjadi ungkapan yang tidak kentara sumber geraknya, padahal gerak tersebut memiliki makna dan simbol yang jelas.
Beberapa contoh gerakan dalam Jaipongan akan dibaca bagaimana hubungannya dengan karakter perempuan Sunda yang kekinian. Gerakan cingeus yang diungkapan melalui gerak kepala maupun badan sebagai gambaran karakter perempuan yang gesit penuh antusias dalam menghadapi berbagai tantangan kehidupan ini. Kegesitan terungkap pula dalam gerakan kaki, seperti meloncat, depok, ngerecek, mincid, sirig, sonteng, dan sebagainya. Hal ini bisa juga dibaca bahwa perempuan Sunda hampang birit. Dari gerakan kaki dapat juga dibaca bahwa perempuan Sunda masa kini banyak yang “jalingkak”. Tidak seanggun perempuan masa lalu yang andalemi dibalik bungkusan kain kebaya. Gerak galeong badan dan kepala yang mengalir legato disertai dengan lirikan mata dan senyuman genit. Sebagai gambaran karakter perempuan yang kenes. Gerakan tangan dan kaki yang terbuka lebar, sebagai gambaran karakter yang terbuka dan memiliki kekuatan serta jujur. Gerak liukan tubuh yang lentur dari ujung kaki hingga kepala sebagai gambaran karakter yang fleksibel tidak kaku dalam menghadapi berbagai persoalan. Apabila dilihat dari tempo dan dinamika gerakan maupun musik yang variatif seperti ada tempo cepat, lambat, sedang, yang dikreasikan dalam Jaipongan dapat dibaca dan dimaknai bahwa karakter perempuan Sunda kekinian tidak monoton, penuh dinamika, dalam arti tidak membosankan.
KESIMPULAN
Jaipongan sebagai sebuah genre baru dalam pertunjukan tari di Jawa Barat merupakan bentuk ekspresi yang dikomunikasikan kepada para penikmatnya lewat gerak. Sebagai sebuah seni pertunjukan Jaipongan dapat disebut media komunikasi yang diungkapkan melalui medium gerak antara kreator (seniman) dan apresiator, yang kemudian dapat ditafsirkan oleh keduanya. Jaipongan diciptakan oleh kreator dengan tafsir dan maknanya sendiri. Kemudian Jaipongan ditonton atau diapresiasi oleh penikmat seni dengan tafsir dan makna tersendiri pula. Oleh sebab itu penulis sebagai penikmat memberi makna tersendiri dalam menafsirkan gerakan Jaipongan.
Jaipongan sebagai bentuk seni mengandung simbol-simbol tertentu yang dapat dibaca dan ditafsirkan oleh setiap orang. Simbol menjadi sesuatu yang penting bagi manusia. Penulis membaca Jaipongan mengandung simbol sebagai pemberontakan dan kebebasan dari kaum perempuan yang selalu terbelunggu dengan berbagai aturan yang sangat mengikat, sehingga membatasi ruang gerak dari kaum perempuan. Dari ungkapan gerak yang dituangkan dalam Jaipongan dapat memberi gambaran bahwa karakter perempuan Sunda kekinian di antaranya penuh semangat, ramah, berani, kuat, jujur, kenes/genit, pejuang, hampang birit atau gesit, lincah, dan tidak membosankan.
Di samping itu, perempuan Sunda kekinian banyak yang jalingkak seperti banyak terungkap dalam gerak Jaipongan. Banyak orang berpendapat bahwa perempuan Sunda adalah pemalas, namun bila membaca Jaipongan dan membaca keberadaan perempuan Sunda masa kini pendapat tersebut sudah tidak relevan lagi sebagai karakter perempuan Sunda kekinian. Sementara pendapat mengenai perempuan Sunda cantik dan senang berdandan, hal itu tidak dapat dipungkiri karena bila melihat tampilan penari Jaipongan tentu akan terpesona dengan dandanannya yang selalu ingin menonjolkan kecantikan.
Komentar
Posting Komentar